Wednesday, October 12, 2016

Hawalah


PEMBAHASAN



I.       Akad Hawâlah dalam Fikih Klasik

A.    Definisi.

Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, makalah yang sederhana ini akan membahas akad hawâlah pada perbankan, baik bank konvensional atau pun bank syariah. Namun pembahasan tersebut tentu tidak akan sempurna kecuali setelah mengetahui beberapa hal tentang akad hawâlah, khususnya tentang definisi, landasah syariah, rukun, syarat dan lain sebagainya. Terlebih akad yang hikmahnya adalah untuk memudahkan seseorang yang kesulitan ini[1] memang sejak lama sudah ada dan dipraktikkan, yaitu semenjak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.  

Adapun definisi akad hawâlah bisa diartikan secara bahasa dan istilah. Dari segi bahasa hawâlah diambil dari kata kerja hâwala-yuhâwilu yang berarti memindahkan atau merubah. Lebih mudahnya karena di dalam akad tersebut memang ada proses pemindahan tanggung jawab dalam membayar dari pihak satu ke pihak yang lain. Sedangkan bemakna berubah karena di dalam akad tersebut ada perubahan pihak untuk memenuhi kewajiban dalam proses pembayaran.

Secara istilah, para ulama selain Mazhab Imam Hanifah[2] berpendapat bahwa akad hawâlah adalah akad pemindahan hutang dari pihak yang wajib membayar (penghutang) kepada pihak yang wajib membayar pula (penanggung hutang).[3] Meski ada perbedaan pendapat dalam mendefinisikan, namun hal tersebut tidak mempengaruhi makna akad di mana semuanya bermuara pada proses pemindahan atau pengalihan hutang.[4]

Kemudian para ulama membagi akad tersebut menjadi dua jenis, yaitu akad hawâlah muqayyadah dan muthlaqah. Akad hawâlah muthlaqah adalah akad hawâlah di mana pihak yang menanggung pembayaran hutang tersebut tidak memiliki hutang kepada pihak yang memindahkan kewajiban pembayaran hutang tersebut. Akad hawâlah jenis ini hanya dibolehkan oleh Ulama Mazhab Hanafi. Sedangkan ulama lainnya menggolongkannya sebagai akad kafâlah.[5]

Sedangkan akad hawâlah muqayyadah adalah akad hawâlah di mana pihak yang menanggung pembayarang hutang tersebut memang berhutang kepada pihak yang memindahkan kewajiban pembayaran hutang tersebut.[6]

B.     Landasan Syariah.

Akad hawâlah ini tentu memiliki dalil penyariatan sehingga saat ini kita diperbolehkan untuk mempraktikkan akad tersebut. Di mana semua dalil yang akan dipaparkan bermuara pada dua kata kerja yaitu menolong dan memudahkan.

1.      Al-Quran.

Allah berfirman, “… Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. Serta jangan tolong menolong dalam (mengerjakan) dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kita sebagai sesama muslim harus saling tolong menolong, khususnya ketika dalam keadaan sulit. Akad yang sedang dibicarakan ini tentu sebuah manifestasi dari ayat yang mulia tersebut.



2.      Sunah Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW bersabda, “Menunda-nunda pembayaran hutang (yang dilakukan) oleh orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Apabila salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerimanya.” (HR. Ahmad).[7] Hadis ini menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW sangat memperhatikan kemaslahatan dua pihak yang bersangkutan, yaitu pihak yang berhutang dan dihutangi.

Selain demi kemaslahatan bagi pihak yang dihutangi, juga kemaslahatan bagi orang yang berhutang agar ia tidak terjerumus ke dalam perbuatan zalim. Kemudian sabda Rasulullah SAW tersebut pun menunjukkan bahwa siapa saja yang dimintai bantuannya untuk membayarkan hutang maka hendaknya ia menerima. Hal ini tentu agar terlaksananya proses tolong menolong sesama muslim yang sudah disinggung sebelumnya.

3.      Ijmak Ulama.

Para ulama sepakat untuk membolehkan akad tersebut karena di dalamnya ada kemudahan bagi pihak penghutang yang kesulitan dan bagi pihak yang memang berhak terhadap hutang-hutang tersebut.[8]

C.    Rukun dan Syarat

Satu hal yang sudah diketahui secara umum adalah adanya rukun dan syarat di dalam setiap akad. Tanpa keduanya meski memiliki landasan syariah maka tetap tidak sah untuk dilaksanakan. Termasuk dengan akad hawâlah yang sedang kita pelajari bersama ini.

1.      Rukun

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, Mazhab Imam Hanifah pun dalam masalah rukun akad hawâlah berbeda pendapat dengan para ulama secara umum.[9] Adapun menurut ulama selain Mazhab Imam Hanifah, akad hawâlah memiliki enam rukun, di antaranya:

a.       Muhîl (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).

b.      Muhâl (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang).

c.       Muhâl ‘alaihi (orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).

d.      Muhâl bihi (hak yang dipindahkan yaitu hutang).

e.       Piutang muhîl pada muhâl ‘alaihi.

f.       Shîghah.[10]  

2.      Syarat

Syarat-syarat yang akan dijelaskan tentu tidak terlepas dari beberapa rukun yang baru saja kita ketahui. Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana Islam mengatur akad hawâlah ini dengan begitu baik.

a.       Berkaitan dengan muhîl. Pertama, ia berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Tentu hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh.[11] Kedua, kerelaan muhîl. Ini disebabkan karena akad hawâlah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia melakukannya dalam terpaksa. Seperti akad kepemilikan lainnya yang akan rusak jika ada unsur pemaksaan di dalamnya.

b.      Berkaitan dengan muhâl. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan akad (kontrak). Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh muhîl. Kedua, kerelaan dari muhâl karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawâlah.

c.       Berkaitan dengan muhâl ‘alaihi. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi muhîl dan muhâl yaitu berakal dan balig. Kedua, ridla tanpa paksaan. Ketiga, ia menerima akad hawâlah dalam majlis yang dilaksanakannya akad hawâlah.

d.      Berkaitan dengan muhâl bihi. Pertama, ia harus berupa hutang yang merupakan tanggungan dari muhîl kepada muhâl. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.[12]

D. Hukum dan Berakhirnya Akad Hawâlah.

Dalam pembahasan ini, pemakalah tidak menjelaskan hukum praktik akad hawâlah karena hal tersebut sudah dijelaskan dan diperbolehkan dengan merujuk beberapa dalil yang telah disebutkan di atas.

1.      Jika akad hawâlah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan muhîl menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang.

2.      Dengan disetujuinya akad hawâlah maka hak penagihan muhâl ini telah dipindahkan kepada muhâl ‘alaih. Dengan demikian ia memiliki hak penagihan hutang kepadanya dan hak untuk memantaunya.

3.      Proses pembayaran bisa dikembalikan kepada muhîl dari muhâl ‘alaihi jika akad hawâlah yang dilakukan atas keinginan muhîl.[13]

Adapun berakhirnya akad yang sarat dengan makna manusia sebagai makhluk sosial ini disebabkan beberapa hal.

1.      Karena dibatalkan. Ini terjadi jika akad hawâlah belum dilaksanakan sampai tahap akhir lalu dibatalkan. Dalam keadaan ini hak penagihan dari muhâl akan kembali lagi kepada muhîl.

2. Hilangnya hak muhâl ‘alaihi karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawâlah sementara muhâl tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.

3. Jika muhâl alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhâl. Ini berarti akad hawâlah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.

4. Meninggalnya muhâl sementara muhâlalaih mewarisi harta hawâlah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan.

5. Jika muhâl menghibahkan harta hawâlah kepada muhâl ‘alaihi dan ia menerima hibah tersebut.

6. Jika muhâl menyedekahkan harta hawâlah kepada muhâl ‘alaihi. Poin ini mirip dengan poin sebelumnya.

7. Jika muhâl membebaskan muhâl ‘alaihi dari kewajiban membayar hutang kepadanya.[14]

II. Al-Hawâlah dalam Perbankan

Dalam melakukan pengalihan hutang, manusia terkadang memilih untuk mewakilkan kepada orang lain atau menujuk lembaga keuangan (bank, koperasi dan sejenisnya). Baik itu dalam suatu negara yang sama ataupun berbeda negara. Hal ini secara hukum syariat merupakan hal legal dan dibenarkan. Sebagaimana dijelaskan di awal, pengalihan ini bisa dilakukan melalui jalur resmi berupa bank maupun berupa perwakilan secara personal.[15]

Transfer service (hawâlah) dalam bank ini berbeda dengan suftajah di dalam pembayaran jasa nya. Karena dalam al-hawâlah al-mashrafiah (Transfer service bank) baru bisa terlaksana jika bank telah menyetujui untuk menjadi perantara diantara kedua belah pihak yang bersangkutan di dalam piutang. Sedangkan suftajah hanya berupa kertas tanda bukti bagi pemilik hutang yang mewakilkan kepada orang lain dalam menyelesaikan urusanya.[16]





Transfer service (hawâlah) dalam suatu negara atau ke negara lain dapat dilakukan dengan dua cara:

A.    Piutang memberikan kuasa kepada bank sebagai perantara pelunasan hutang tersebut. Hal ini dikiyaskan dengan dibolehkanya suftajah.

B.     Dengan cara pemberian cek. Cek ini dikeluarkan oleh bank untuk bisa dicairkan dengan uang, baik itu penukaranya di negara yang sama maupun di beda negara. Dalam hal ini bank diperbolehkan untuk mengambil biaya atas jasanya. Konsep ini dalam hukum dikiyaskan dengan wikalah bi ujr.[17]    

Konsensus ahli fikih Islam telah menetapkan tentang permasalahn ini (hawâlah) dalam undang-undangnya nomor 48/ (1/9) atas disyariatkanya pengalihan dan transfer antar bank. Cara ini bisa dengan hawâlah muhtlaqah atau dengan wikalah bi ujr.[18]

Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa hawâlah merupakan salah satu produk bank syariah yang masuk dalam sub kategori jasa (Fee Based Service).[19]

Secara lebih spesifik hawâlah dalam perbankan biasanya diterapkan dalam hal-hal berikut:[20]

A.    Factoring, nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank membayar piutang tersebut dan menagihnya dari pihak ketiga.

B.     Post-dated check, bank bertindak sebagai juru tagih piutang tanpa membayar piutang terlebih dahulu.

C.     Bill discounting, secara prinsip bill discouting sama dengan hawâlah, hanya saja nasabah harus memberikan fee[21] kepada bank, sedangkan pembahasan fee tidak terdapat dalam kontrak hawâlah.

Dari uraian ini kita dapat mengetahui bahwasanya produk bank dalam ruang lingkup hawâlah ada tiga cakupan, yaitu factoring, post-dated check dan bill discounting.



A.    Factoring.

Dalam perbankan factoring dikenal dengan anjak piutang (pengalihan hutang) sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, maksud anjak piutang adalah pengambil alihan hutang. Secara umum factoring dalam bank dibagi menjadi dua, piutang dari transaksi dagang dan piutang dari fasilitas kredit (pinjaman).[22]

Perbandingan dari kedua jenis piutang ini adalah:[23]

1.      Piutang Dagang:

a.       Jangka pendek.

b.      Berasal dari transaksi jual beli barang/jasa.

c.       Jaminan terhadap barang kurang diperhatikan, lebih menitikberatkan pada masalah hubungan dagang. Kalaupun ada jaminan nilainya relatif kecil dibandingkan dengan tagihan uang mukanya.

2.      Piutang Perkreditan:

a.       Jangka waktu lama.

b.      Berasal dari perjanjian kredit.

c.       Jaminan yang lebih pasti/riil.

d.      Hubungan lebih formal antar pihak serta perjanjian terikat secara yuridis[24]disertai adanya hak prefensi kepada kreditor.

Contoh usaha dalam factoring yang masuk hawâlah adalah Kredit Pembiayaan Rumah (KPR).[25]Dalam kegiatan anjak piutang yang berlaku di Indonesia, yang dimaksud dengan piutang dagang adalah piutang dagang jangka pendek yang jatuh tempo selamnya 1 (satu) tahun.[26]

Manfaat dari factoring adalah:[27]

1.      Bagi perusahaan factoring (lembaga keuangan, bank ataupun non-bank), mendapatkan fee dari pihak klien.

2.      Bagi debitor/klien

a.       Jasa pembiayaan

                                                     i.         Peningkatan penjualan.

                                                   ii.         Kelancaran modal kerja.

                                                 iii.         Pengurangan resiko tidak tertagihnya hutang.

b.      Jasa non pembiayaan

                                                     i.         Memudahkan menagihkan piutang.

                                                   ii.         Efisiensi usaha.

                                                 iii.         Memudahkan arus kas (cash-flow).

3.      Bagi konsumen/nasabah

a.       Kesempatan untuk melakukan pembelian secara kredit.

b.      Layanan penjualan yang lebih baik.



B.     Post-dated Check

Pengertian dari Post-dated check adalah a cheque[28] issued with a written date in the future or dated after the date of issue[29]. Dari pengertian ini kita bisa memahami bahwa yang dimaksud dengan post-dated check adalah cek yang dikeluarkan oleh bank dimana pencairan uangnya hanya bisa dilakukan sesuai dengan tanggal yang tertera atau setelah tanggal yang tertera.

Post-dated check biasanya digunakan pada dua hal. Deliberate payment delay and collection method. Penundaan pembayaran barang dan pengumpulan beberapa cek sebagi bukti pembayaran barang.[30]

1.      Deliberate Payment Delay

Pembuat cek ini bertujuan untuk melakukan penundaan pembayaran kepada si penerima, hal ini bisa diterima oleh si penerima cek karena dia bisa mendapatkan uang di masa yang akan datang. Namun hal ini sangat beresiko, karena pada beberapa kasus, ketika penerima cek akan mendepositkan ceknya, si pemilik cek sudah tidak memiliki uang di dalam akun banknya.

2.      Collection Method

Cara ini, si penerima cek meminta beberapa buah cek yang harus diserahkan di awal, bertujuan untuk mencegah adanya penipuan dan kemungkinan yang lebih besar bagi si penerima cek untuk mendapatkan uangnya. Serta sebagai uang muka untuk pembayaran pesanan yang harus dilunasi sejak awal.

Adapun manfaat dari adanya post-dated check ini adalah memberikan jaminan penyimpanan sejumlah uang pada bank yang bisa diambil ketika sudah jatuh tempo.[31]

C.    Bill Discounting

Secara sederhana pengertian bill discounting adalah penarikan (pencairan) tagihan pembayaran yang diuangkan kepada bank sebelum jatuh tempo tanggal pencairan dana setelah sebelumnya dikenakan biaya pemotongan.[32]Setalah bank memberikan uang sesuai yang tertera pada tagihan, maka kepemilikan tagihan pembayaran ini menjadi milik bank sampai dengan batas pembayaran yang tertera pada tanggal dalam tagihan. Tagihan (bill) ini dikenal dengan bill of exchange (B/E).

Contoh, seorang pengusaha sepatu (eksportir) di Bogor memiliki bill (cek bukti pembayaran) sebesar $10.000 atas penjualan sepatunya terhadap importir di Amerika. Dua bulan sebelum jatuh tempo pembayaran, dia menukarkan bukti pembayaran ini kepada bank dengan diskon sebesar 15 persen.

Diskon tagihan pembayaran ini akan dikenakan sebagaimana diagram berikut:

10.000x15/100x2/12= 250

Eksportir ini akan mendapatkan uang sebesar $ 9.750 dan kehilangan sebesar $250 atas diskon tagihan pembayaran kepada bank.[33]

Manfaat bill discounting adalah:

1.      Nasabah

a.       Mendapatkan uang tunai dalam waktu dekat.

b.      Terbebas dari pembayaran pajak ketika melakukan pembayaran.

c.       Sangat fleksibel secara finansial bagi keuangan maupun untuk investasi.

2.      Bank

Bagi bank keuntungan yang didapat adalah sumber pemasukan yang aman, karena di dalam bill of change (B/E) terdapat dua pihak yang menandatangani kesepakatan pembayaran secara legal. Hal ini bisa digunakan oleh bank untuk menuntut secara hukum jika terdapat sengketa dalam pembayaran.[34]



Akad hawâlah merupakan salah satu hal yang membuktikan bahwa Islam itu agama yang mudah dan memudahkan. Terlihat dari bagaimana akad tersebut disyariatkan sehingga pihak yang berhutang dan menghutangi mempunyai cara lain untuk memenuhi kewajiban atau mendapatkan haknya.

Meskipun disyariatkan untuk memudahkan, bukan berarti akad hawâlah tersebut menjadi hal yang sepele, akan tetapi tetap harus dilakukan dengan sebaik mungkin sesuai rukun dan syarat yang sudah ditetapkan oleh para ulama fikih.

Seiring waktu berjalan, akad hawâlah yang kita ketahui mengalami perkembangan. Selain memang merupakan bukti bahwa agama Islam adalah agama yang akan bertahan hingga hari kiamat, juga memang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin hari semakin kompleks.

Adapun perkembangan akad tersebut terlihat jelas pada praktik akad hawâlah dalam perbankan, baik itu bank konvensional dan bank syariah. Di antara praktiknya adalah factoring, post-dated check dan bill discounting.


by: Forum Kajian Pakeis, Cairo - Mesir

[1] Terkadang pihak yang mempunyai hutang tersebut dengan sengaja selalu mengakhirkan pembayarannya sehingga menyulitkan pihak yang dihutangi. Atau mungkin karena tidak mampu sehingga bagaimana pun memang tidak bisa memenuhi kewajiban dalam membayar hutang. Oleh karena itu, adanya pihak ketiga yang bisa menanggung hutang tersebut mampu memudahkan pihak yang berhutang dan yang dihutangi.
[2] Sedangkan menurut Mazhab Imam Hanafi, akad hawâlah adalah pemindahan atau pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut dengan cara yang dipercayai. Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Al-Mu’âmalât Al-Mâliyah Al-Mu’âshirah, Dar al-Fikr, Beirut, cet. IX, 2016, hal. 96.
[3] Sederhananya Pak Bambang memiliki hutang kepada Ibu Diana dan pada waktu yang sama Paman Ali juga berhutang kepada Pak Bambang. Ketika Ibu Diana menagih, Pak Bambang bisa menjelaskan bahwa ia memiliki piutang di Paman Ali. Sehingga Ibu Diana bisa mendapatkan piutangnya melalui Paman Ali yang berhutang kepada Pak Bambang dengan syarat mereka bertiga sepakat untuk melakukan akad hawâlah.
[4] Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa akad hawâlah adalah akad yang berkaitan dengan proses pemenuhan hak atau kewajiban, bukan berkaitan dengan proses jual beli. Lihat Rafiq Yunus Al-Mashry, Fiqh Al-Mu’ Al-Mu’âmalât Al-Mâliyah, Dar al-Qalam, Damaskus, cet. I, 2005, hal. 217.
[5] Contohnya jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C. Sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B.
[6] Wahbah Al-Zuhaily, Al-Mu’âmalât Al-Mâliyah Al-Mu’âshirah, Dar al-Fikr, Beirut, cet. IX, 2016, hal. 98.    
[7] Ibid., hal. 97.
[8] Ibid., hal. 97.           
[9] Adapun menurut Mazhab Imam Hanifah, rukun akad hawâlah cukup dengan dua hal yaitu ijâb dari pihak muhîl dan qabûl dari pihak muhâl dan muhâl ‘alaihi. Ibid., hal. 97.
[10] Ibid., hal. 97.
[11] Akad hawâlah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Ibid., hal. 97-98.
[12] Ibid., hal. 97-98.
[13] Pihak muhâl tidak boleh kembali menagih atau menuntut haknya kepada muhîl kecuali dalam tiga keadaan. Pertama, pihak muhâl ‘alaihi yang nakal. Artinya ia tidak mengakui bahwa dirinya bertanggung jawab dalam pembayaran dan dalam waktu yang sama pihak muhâl pun tidak memiliki keterangan atau saksi. Kedua, pihak muhâl ‘alaihi meninggal dan ia dalam keadaan bangkrut (tak memiliki harta sedikit pun). Ketiga, dinyatakan oleh seorang hakim bahwa pihak muhâl ‘alaihi dalam keadaan bangkrut. Ibid., hal. 99.
[14] Ibid., hal. 99.
[15] Menurut Wahbah Al-Zuhaily hawâlah di dalam perbankan berbeda dengan fikih klasik, jika di fikih klasik prosesnya hanya sebatas perpindahan hutang, sedangkan di dalam perbankan merupakan proses pengalihan uang dari rekening yang satu ke rekening yang lain, atau dari bank satu ke bank yang lain. Baik itu bank dalam satu negara atau berbeda negara. Lihat, Ibid., hal. 462.
[16] Wahbah Al-Zuhaily, Al-Mu’âmalât Al-Mâliyah Al-Mu’âshirah, Dar Al-Fikr, Beirut, cet. VII, 2009, hal. 479.
[17] Ibid., hal. 171.
[18] Ibid., hal. 171-172.
[19] http://repository.widyatama.ac.id, diakses pada pukul 07.37, Hari Ahad, 13 Maret 2016.
[20] Muhammad Syafi’I Antonio, Islamic Banking, BANK SYARIAH dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, cet. 1, 2001, hal. 127.
[21] Komisi, imbalan. Lihat, KBBI daring, search key: Komisi, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada pukul 07.45, Hari Ahad, 13 Maret 2016.

[22] Ibrahim Sumantri, FACTORING DALAM PEMBELIAN PROPERTI DENGAN SISTEM PRE PROJECT SELLING (Study Terhadap Tanggungjawab Debitur dan Klien Dalam Hal Terjadi Piutang yang Tidak Dapat Ditagih), FHUI: Tesis S2, Depok, 2011, hal. 40.
[23] Ibid., hal. 41.
[24]Maksudnya adalah terikat menurut hukum;secara hukum. Lihat KBBI daring, search key: yuridis, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada pukul 06.32, Hari Kamis, 17 Maret 2016.
[25] Diolah dari berbagai sumber.
[26] Op. cit. hal. 41, Lihat juga Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
[27] Op. cit. hal. 49-50.
[28] Check adalah surat perintah tidak bersyarat dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk membayar suatu jumlah tertentu pada saat ditunjukkan. Sumber : www.bi.go.id/sistem-pembayaran/edukasi, diakses pada pukul 22.15, Hari Selasa, 15 Maret 2016.
[31] http://www.hsbc.co.id/product-summary/post-dated-check/id/htm, diakses pada pukul 14.41, Hari Rabu, 16 Maret 2016.
[32] http://www.accountingexplanation.com/discounting_of_a_bill_of_exchange.htm, diakses pada pukul 11.22, Hari Selasa, 15 Maret 2016.
[33] http://www.accountingexplanation.com/discounting_of_a_bill_of_exchange.htm, diakses pada pukul 11.22, Hari Selasa, 15 Maret 2016, dan diolah dari berbagai sumber.
[34]  http://www.citeman.com/-advantages-of-bill-discounting.html, diakses pada pukul 12.13, Hari Senin, 14 Maret 2016.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca blog saya, semoga bermanfaat