PEMBAHASAN
I.
Akad Hawâlah dalam Fikih Klasik
A.
Definisi.
Sebagaimana
yang sudah disebutkan sebelumnya, makalah yang sederhana ini akan membahas akad
hawâlah pada perbankan, baik bank konvensional atau pun bank syariah.
Namun pembahasan tersebut tentu tidak akan sempurna kecuali setelah mengetahui
beberapa hal tentang akad hawâlah, khususnya tentang definisi, landasah
syariah, rukun, syarat dan lain sebagainya. Terlebih akad yang hikmahnya adalah
untuk memudahkan seseorang yang kesulitan ini[1]
memang sejak lama sudah ada dan dipraktikkan, yaitu semenjak zaman Rasulullah
SAW dan para sahabat beliau.
Adapun definisi
akad hawâlah bisa diartikan secara bahasa dan istilah. Dari segi bahasa hawâlah
diambil dari kata kerja hâwala-yuhâwilu yang berarti memindahkan atau
merubah. Lebih mudahnya karena di dalam akad tersebut memang ada proses
pemindahan tanggung jawab dalam membayar dari pihak satu ke pihak yang lain.
Sedangkan bemakna berubah karena di dalam akad tersebut ada perubahan pihak
untuk memenuhi kewajiban dalam proses pembayaran.
Secara istilah,
para ulama selain Mazhab Imam Hanifah[2]
berpendapat bahwa akad hawâlah adalah akad pemindahan hutang dari pihak
yang wajib membayar (penghutang) kepada pihak yang wajib membayar pula (penanggung
hutang).[3]
Meski ada perbedaan pendapat dalam mendefinisikan, namun hal tersebut tidak
mempengaruhi makna akad di mana semuanya bermuara pada proses pemindahan atau
pengalihan hutang.[4]
Kemudian para
ulama membagi akad tersebut menjadi dua jenis, yaitu akad hawâlah muqayyadah
dan muthlaqah. Akad hawâlah muthlaqah adalah akad hawâlah
di mana pihak yang menanggung pembayaran hutang tersebut tidak memiliki hutang
kepada pihak yang memindahkan kewajiban pembayaran hutang tersebut. Akad hawâlah
jenis ini hanya dibolehkan oleh Ulama Mazhab Hanafi. Sedangkan ulama lainnya
menggolongkannya sebagai akad kafâlah.[5]
Sedangkan akad hawâlah
muqayyadah adalah akad hawâlah di mana pihak yang menanggung pembayarang
hutang tersebut memang berhutang kepada pihak yang memindahkan kewajiban
pembayaran hutang tersebut.[6]
B.
Landasan Syariah.
Akad hawâlah
ini tentu memiliki dalil penyariatan sehingga saat ini kita diperbolehkan untuk
mempraktikkan akad tersebut. Di mana semua dalil yang akan dipaparkan bermuara
pada dua kata kerja yaitu menolong dan memudahkan.
1.
Al-Quran.
Allah
berfirman, “… Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa. Serta jangan tolong menolong dalam (mengerjakan) dosa dan
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.”
(QS. Al-Maidah: 2). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kita sebagai sesama
muslim harus saling tolong menolong, khususnya ketika dalam keadaan sulit. Akad
yang sedang dibicarakan ini tentu sebuah manifestasi dari ayat yang mulia
tersebut.
2.
Sunah
Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW
bersabda, “Menunda-nunda pembayaran hutang (yang dilakukan) oleh orang yang
mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Apabila salah seorang dari kamu
dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia
menerimanya.” (HR. Ahmad).[7]
Hadis ini menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW sangat memperhatikan
kemaslahatan dua pihak yang bersangkutan, yaitu pihak yang berhutang dan
dihutangi.
Selain demi
kemaslahatan bagi pihak yang dihutangi, juga kemaslahatan bagi orang yang
berhutang agar ia tidak terjerumus ke dalam perbuatan zalim. Kemudian sabda
Rasulullah SAW tersebut pun menunjukkan bahwa siapa saja yang dimintai
bantuannya untuk membayarkan hutang maka hendaknya ia menerima. Hal ini tentu
agar terlaksananya proses tolong menolong sesama muslim yang sudah disinggung
sebelumnya.
3.
Ijmak
Ulama.
Para ulama
sepakat untuk membolehkan akad tersebut karena di dalamnya ada kemudahan bagi
pihak penghutang yang kesulitan dan bagi pihak yang memang berhak terhadap
hutang-hutang tersebut.[8]
C.
Rukun dan Syarat
Satu hal yang
sudah diketahui secara umum adalah adanya rukun dan syarat di dalam setiap
akad. Tanpa keduanya meski memiliki landasan syariah maka tetap tidak sah untuk
dilaksanakan. Termasuk dengan akad hawâlah yang sedang kita pelajari
bersama ini.
1.
Rukun
Sebagaimana
yang sudah dijelaskan sebelumnya, Mazhab Imam Hanifah pun dalam masalah rukun
akad hawâlah berbeda pendapat dengan para ulama secara umum.[9]
Adapun menurut ulama selain Mazhab Imam Hanifah, akad hawâlah memiliki
enam rukun, di antaranya:
a.
Muhîl (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
b.
Muhâl (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu
orang yang mempunyai piutang).
c.
Muhâl ‘alaihi (orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
d.
Muhâl bihi (hak yang dipindahkan yaitu hutang).
e.
Piutang
muhîl pada muhâl ‘alaihi.
f.
Shîghah.[10]
2.
Syarat
Syarat-syarat
yang akan dijelaskan tentu tidak terlepas dari beberapa rukun yang baru saja
kita ketahui. Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana Islam mengatur akad hawâlah
ini dengan begitu baik.
a.
Berkaitan
dengan muhîl. Pertama, ia berkemampuan untuk melakukan akad
(kontrak). Tentu hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh.[11]
Kedua, kerelaan muhîl. Ini disebabkan karena akad hawâlah
mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia melakukannya dalam
terpaksa. Seperti akad kepemilikan lainnya yang akan rusak jika ada unsur
pemaksaan di dalamnya.
b.
Berkaitan
dengan muhâl. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakan akad (kontrak). Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh muhîl.
Kedua, kerelaan dari muhâl karena tidak sah jika hal itu
dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawâlah.
c.
Berkaitan
dengan muhâl ‘alaihi. Pertama, sama dengan syarat pertama
bagi muhîl dan muhâl yaitu berakal dan balig. Kedua, ridla
tanpa paksaan. Ketiga, ia menerima akad hawâlah dalam majlis yang
dilaksanakannya akad hawâlah.
d.
Berkaitan
dengan muhâl bihi. Pertama, ia harus berupa hutang yang
merupakan tanggungan dari muhîl kepada muhâl. Kedua,
hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut
hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.[12]
D. Hukum dan Berakhirnya
Akad Hawâlah.
Dalam
pembahasan ini, pemakalah tidak menjelaskan hukum praktik akad hawâlah
karena hal tersebut sudah dijelaskan dan diperbolehkan dengan merujuk beberapa
dalil yang telah disebutkan di atas.
1.
Jika
akad hawâlah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan muhîl
menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang.
2.
Dengan
disetujuinya akad hawâlah maka hak penagihan muhâl ini telah
dipindahkan kepada muhâl ‘alaih. Dengan demikian ia memiliki hak
penagihan hutang kepadanya dan hak untuk memantaunya.
3.
Proses
pembayaran bisa dikembalikan kepada muhîl dari muhâl ‘alaihi
jika akad hawâlah yang dilakukan atas keinginan muhîl.[13]
Adapun
berakhirnya akad yang sarat dengan makna manusia sebagai makhluk sosial ini disebabkan
beberapa hal.
1.
Karena
dibatalkan. Ini terjadi jika akad hawâlah belum dilaksanakan sampai
tahap akhir lalu dibatalkan. Dalam keadaan ini hak penagihan dari muhâl
akan kembali lagi kepada muhîl.
2. Hilangnya hak muhâl ‘alaihi karena meninggal dunia
atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawâlah sementara muhâl
tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika muhâl alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhâl.
Ini berarti akad hawâlah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.
Meninggalnya muhâl sementara muhâl ‘alaih mewarisi harta hawâlah
karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan.
5.
Jika muhâl menghibahkan harta hawâlah kepada muhâl ‘alaihi
dan ia menerima hibah tersebut.
6.
Jika muhâl menyedekahkan harta hawâlah kepada muhâl ‘alaihi.
Poin ini mirip dengan poin sebelumnya.
7.
Jika muhâl membebaskan muhâl ‘alaihi dari kewajiban
membayar hutang kepadanya.[14]
II. Al-Hawâlah dalam
Perbankan
Dalam melakukan pengalihan hutang,
manusia terkadang memilih untuk mewakilkan kepada orang lain atau menujuk
lembaga keuangan (bank, koperasi dan sejenisnya). Baik itu dalam suatu negara
yang sama ataupun berbeda negara. Hal ini secara hukum syariat merupakan hal
legal dan dibenarkan. Sebagaimana dijelaskan di awal, pengalihan ini bisa
dilakukan melalui jalur resmi berupa bank maupun berupa perwakilan secara
personal.[15]
Transfer service (hawâlah) dalam bank ini berbeda dengan suftajah di
dalam pembayaran jasa nya. Karena dalam al-hawâlah al-mashrafiah
(Transfer service bank) baru bisa terlaksana jika bank telah menyetujui
untuk menjadi perantara diantara kedua belah pihak yang bersangkutan di dalam
piutang. Sedangkan suftajah hanya berupa kertas tanda bukti bagi pemilik
hutang yang mewakilkan kepada orang lain dalam menyelesaikan urusanya.[16]
Transfer service (hawâlah) dalam suatu negara atau ke negara lain dapat
dilakukan dengan dua cara:
A.
Piutang
memberikan kuasa kepada bank sebagai perantara pelunasan hutang tersebut. Hal
ini dikiyaskan dengan dibolehkanya suftajah.
B.
Dengan
cara pemberian cek. Cek ini dikeluarkan oleh bank untuk bisa dicairkan dengan
uang, baik itu penukaranya di negara yang sama maupun di beda negara. Dalam hal
ini bank diperbolehkan untuk mengambil biaya atas jasanya. Konsep ini dalam
hukum dikiyaskan dengan wikalah bi ujr.[17]
Konsensus ahli fikih Islam telah
menetapkan tentang permasalahn ini (hawâlah) dalam undang-undangnya
nomor 48/ (1/9) atas disyariatkanya pengalihan dan transfer antar bank. Cara
ini bisa dengan hawâlah muhtlaqah atau dengan wikalah bi ujr.[18]
Dari uraian di atas, kita dapat
memahami bahwa hawâlah merupakan salah satu produk bank syariah yang
masuk dalam sub kategori jasa (Fee Based Service).[19]
Secara lebih spesifik hawâlah dalam
perbankan biasanya diterapkan dalam hal-hal berikut:[20]
A.
Factoring,
nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan
piutang itu kepada bank, bank membayar piutang tersebut dan menagihnya dari
pihak ketiga.
B.
Post-dated
check, bank bertindak sebagai juru tagih
piutang tanpa membayar piutang terlebih dahulu.
C.
Bill
discounting, secara prinsip
bill discouting sama dengan hawâlah, hanya saja nasabah harus
memberikan fee[21]
kepada bank, sedangkan pembahasan fee tidak terdapat dalam kontrak hawâlah.
Dari uraian ini kita dapat
mengetahui bahwasanya produk bank dalam ruang lingkup hawâlah ada tiga
cakupan, yaitu factoring, post-dated check dan bill discounting.
A. Factoring.
Dalam perbankan
factoring dikenal dengan anjak piutang (pengalihan hutang) sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas, maksud anjak piutang adalah pengambil alihan
hutang. Secara umum factoring dalam bank dibagi menjadi dua, piutang
dari transaksi dagang dan piutang dari fasilitas kredit (pinjaman).[22]
Perbandingan
dari kedua jenis piutang ini adalah:[23]
1.
Piutang
Dagang:
a.
Jangka
pendek.
b.
Berasal
dari transaksi jual beli barang/jasa.
c.
Jaminan
terhadap barang kurang diperhatikan, lebih menitikberatkan pada masalah
hubungan dagang. Kalaupun ada jaminan nilainya relatif kecil dibandingkan
dengan tagihan uang mukanya.
2.
Piutang
Perkreditan:
a.
Jangka
waktu lama.
b.
Berasal
dari perjanjian kredit.
c.
Jaminan
yang lebih pasti/riil.
d.
Hubungan
lebih formal antar pihak serta perjanjian terikat secara yuridis[24]disertai
adanya hak prefensi kepada kreditor.
Contoh usaha
dalam factoring yang masuk hawâlah adalah Kredit Pembiayaan Rumah
(KPR).[25]Dalam
kegiatan anjak piutang yang berlaku di Indonesia, yang dimaksud dengan piutang
dagang adalah piutang dagang jangka pendek yang jatuh tempo selamnya 1 (satu)
tahun.[26]
Manfaat dari factoring
adalah:[27]
1.
Bagi
perusahaan factoring (lembaga keuangan, bank ataupun non-bank),
mendapatkan fee dari pihak klien.
2.
Bagi
debitor/klien
a.
Jasa
pembiayaan
i.
Peningkatan
penjualan.
ii.
Kelancaran
modal kerja.
iii.
Pengurangan
resiko tidak tertagihnya hutang.
b.
Jasa
non pembiayaan
i.
Memudahkan
menagihkan piutang.
ii.
Efisiensi
usaha.
iii.
Memudahkan
arus kas (cash-flow).
3.
Bagi
konsumen/nasabah
a.
Kesempatan
untuk melakukan pembelian secara kredit.
b.
Layanan
penjualan yang lebih baik.
B. Post-dated Check
Pengertian dari
Post-dated check adalah a cheque[28]
issued with a written date in the future or dated after the date of issue[29].
Dari pengertian ini kita bisa memahami bahwa yang dimaksud dengan post-dated
check adalah cek yang dikeluarkan oleh bank dimana pencairan uangnya hanya
bisa dilakukan sesuai dengan tanggal yang tertera atau setelah tanggal yang
tertera.
Post-dated check biasanya digunakan pada dua hal. Deliberate payment delay and
collection method. Penundaan pembayaran barang dan pengumpulan beberapa cek
sebagi bukti pembayaran barang.[30]
1.
Deliberate Payment Delay
Pembuat cek ini
bertujuan untuk melakukan penundaan pembayaran kepada si penerima, hal ini bisa
diterima oleh si penerima cek karena dia bisa mendapatkan uang di masa yang
akan datang. Namun hal ini sangat beresiko, karena pada beberapa kasus, ketika
penerima cek akan mendepositkan ceknya, si pemilik cek sudah tidak memiliki
uang di dalam akun banknya.
2.
Collection Method
Cara ini, si
penerima cek meminta beberapa buah cek yang harus diserahkan di awal, bertujuan
untuk mencegah adanya penipuan dan kemungkinan yang lebih besar bagi si
penerima cek untuk mendapatkan uangnya. Serta sebagai uang muka untuk
pembayaran pesanan yang harus dilunasi sejak awal.
Adapun manfaat
dari adanya post-dated check ini adalah memberikan jaminan penyimpanan
sejumlah uang pada bank yang bisa diambil ketika sudah jatuh tempo.[31]
C. Bill Discounting
Secara sederhana pengertian bill
discounting adalah penarikan (pencairan) tagihan pembayaran yang diuangkan
kepada bank sebelum jatuh tempo tanggal pencairan dana setelah sebelumnya
dikenakan biaya pemotongan.[32]Setalah
bank memberikan uang sesuai yang tertera pada tagihan, maka kepemilikan tagihan
pembayaran ini menjadi milik bank sampai dengan batas pembayaran yang tertera
pada tanggal dalam tagihan. Tagihan (bill) ini dikenal dengan bill of
exchange (B/E).
Contoh, seorang
pengusaha sepatu (eksportir) di Bogor memiliki bill (cek bukti
pembayaran) sebesar $10.000 atas penjualan sepatunya terhadap importir di
Amerika. Dua bulan sebelum jatuh tempo pembayaran, dia menukarkan bukti pembayaran
ini kepada bank dengan diskon sebesar 15 persen.
Diskon tagihan
pembayaran ini akan dikenakan sebagaimana diagram berikut:
10.000x15/100x2/12= 250
Eksportir ini akan mendapatkan uang
sebesar $ 9.750 dan kehilangan sebesar $250 atas diskon tagihan pembayaran
kepada bank.[33]
Manfaat bill
discounting adalah:
1.
Nasabah
a.
Mendapatkan
uang tunai dalam waktu dekat.
b.
Terbebas
dari pembayaran pajak ketika melakukan pembayaran.
c. Sangat fleksibel secara finansial bagi keuangan maupun untuk
investasi.
2.
Bank
Bagi bank keuntungan yang didapat
adalah sumber pemasukan yang aman, karena di dalam bill of change (B/E)
terdapat dua pihak yang menandatangani kesepakatan pembayaran secara legal. Hal
ini bisa digunakan oleh bank untuk menuntut secara hukum jika terdapat sengketa
dalam pembayaran.[34]
Akad hawâlah merupakan salah satu hal yang membuktikan bahwa
Islam itu agama yang mudah dan memudahkan. Terlihat dari bagaimana akad
tersebut disyariatkan sehingga pihak yang berhutang dan menghutangi mempunyai
cara lain untuk memenuhi kewajiban atau mendapatkan haknya.
Meskipun
disyariatkan untuk memudahkan, bukan berarti akad hawâlah tersebut
menjadi hal yang sepele, akan tetapi tetap harus dilakukan dengan sebaik
mungkin sesuai rukun dan syarat yang sudah ditetapkan oleh para ulama fikih.
Seiring
waktu berjalan, akad hawâlah yang kita ketahui mengalami perkembangan.
Selain memang merupakan bukti bahwa agama Islam adalah agama yang akan bertahan
hingga hari kiamat, juga memang untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin
hari semakin kompleks.
Adapun
perkembangan akad tersebut terlihat jelas pada praktik akad hawâlah
dalam perbankan, baik itu bank konvensional dan bank syariah. Di antara
praktiknya adalah factoring, post-dated check dan bill discounting.
by: Forum Kajian Pakeis, Cairo - Mesir
[1] Terkadang pihak yang mempunyai hutang tersebut dengan sengaja
selalu mengakhirkan pembayarannya sehingga menyulitkan pihak yang dihutangi.
Atau mungkin karena tidak mampu sehingga bagaimana pun memang tidak bisa
memenuhi kewajiban dalam membayar hutang. Oleh karena itu, adanya pihak ketiga
yang bisa menanggung hutang tersebut mampu memudahkan pihak yang berhutang dan
yang dihutangi.
[2] Sedangkan menurut Mazhab Imam Hanafi, akad hawâlah adalah
pemindahan atau pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada
orang yang menanggung hutang tersebut dengan cara yang dipercayai. Lihat Wahbah
Al-Zuhaily, Al-Mu’âmalât Al-Mâliyah Al-Mu’âshirah, Dar al-Fikr, Beirut,
cet. IX, 2016, hal. 96.
[3] Sederhananya Pak Bambang memiliki hutang kepada Ibu Diana dan pada
waktu yang sama Paman Ali juga berhutang kepada Pak Bambang. Ketika Ibu Diana
menagih, Pak Bambang bisa menjelaskan bahwa ia memiliki piutang di Paman Ali.
Sehingga Ibu Diana bisa mendapatkan piutangnya melalui Paman Ali yang berhutang
kepada Pak Bambang dengan syarat mereka bertiga sepakat untuk melakukan akad hawâlah.
[4] Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa akad hawâlah adalah akad
yang berkaitan dengan proses pemenuhan hak atau kewajiban, bukan berkaitan
dengan proses jual beli. Lihat Rafiq Yunus Al-Mashry, Fiqh Al-Mu’ Al-Mu’âmalât
Al-Mâliyah, Dar al-Qalam, Damaskus, cet. I, 2005, hal. 217.
[5] Contohnya jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak
penagihan B kepada C. Sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B.
[6] Wahbah Al-Zuhaily, Al-Mu’âmalât Al-Mâliyah Al-Mu’âshirah, Dar
al-Fikr, Beirut, cet. IX, 2016, hal. 98.
[7] Ibid., hal. 97.
[8] Ibid., hal. 97.
[9] Adapun menurut Mazhab Imam Hanifah, rukun akad hawâlah
cukup dengan dua hal yaitu ijâb dari pihak muhîl dan qabûl dari
pihak muhâl dan muhâl ‘alaihi. Ibid., hal. 97.
[10] Ibid., hal. 97.
[11] Akad hawâlah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak
kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang
bertanggung secara hukum. Ibid., hal. 97-98.
[12] Ibid., hal. 97-98.
[13] Pihak muhâl tidak boleh kembali menagih atau menuntut
haknya kepada muhîl kecuali dalam tiga keadaan. Pertama, pihak muhâl
‘alaihi yang nakal. Artinya ia tidak mengakui bahwa dirinya bertanggung
jawab dalam pembayaran dan dalam waktu yang sama pihak muhâl pun tidak
memiliki keterangan atau saksi. Kedua, pihak muhâl ‘alaihi
meninggal dan ia dalam keadaan bangkrut (tak memiliki harta sedikit pun).
Ketiga, dinyatakan oleh seorang hakim bahwa pihak muhâl ‘alaihi
dalam keadaan bangkrut. Ibid., hal. 99.
[14] Ibid., hal. 99.
[15] Menurut Wahbah Al-Zuhaily hawâlah di dalam perbankan
berbeda dengan fikih klasik, jika di fikih klasik prosesnya hanya sebatas
perpindahan hutang, sedangkan di dalam perbankan merupakan proses pengalihan
uang dari rekening yang satu ke rekening yang lain, atau dari bank satu ke bank
yang lain. Baik itu bank dalam satu negara atau berbeda negara. Lihat, Ibid.,
hal. 462.
[16] Wahbah Al-Zuhaily, Al-Mu’âmalât Al-Mâliyah Al-Mu’âshirah, Dar
Al-Fikr, Beirut, cet. VII, 2009, hal. 479.
[17] Ibid., hal. 171.
[18] Ibid., hal. 171-172.
[19] http://repository.widyatama.ac.id, diakses
pada pukul 07.37, Hari Ahad, 13 Maret 2016.
[20] Muhammad Syafi’I Antonio, Islamic Banking, BANK SYARIAH dari
Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, cet. 1, 2001, hal. 127.
[21] Komisi, imbalan. Lihat, KBBI daring, search key: Komisi, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada pukul 07.45, Hari Ahad, 13 Maret 2016.
[22] Ibrahim Sumantri, FACTORING DALAM PEMBELIAN PROPERTI DENGAN
SISTEM PRE PROJECT SELLING (Study Terhadap Tanggungjawab Debitur dan Klien
Dalam Hal Terjadi Piutang yang Tidak Dapat Ditagih), FHUI: Tesis S2, Depok,
2011, hal. 40.
[23] Ibid., hal. 41.
[24]Maksudnya adalah terikat menurut hukum;secara hukum. Lihat KBBI
daring, search key: yuridis, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php,
diakses pada pukul 06.32, Hari Kamis, 17 Maret 2016.
[25] Diolah dari berbagai sumber.
[26] Op. cit. hal. 41, Lihat
juga Pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan.
[27] Op. cit. hal. 49-50.
[28] Check adalah surat perintah tidak bersyarat dari nasabah
kepada bank penyimpan dana untuk membayar suatu jumlah tertentu pada saat
ditunjukkan. Sumber : www.bi.go.id/sistem-pembayaran/edukasi, diakses pada pukul 22.15, Hari Selasa, 15 Maret 2016.
[29] http://www.lawyerment.com/library/kb/Banking_and_Finance/Banking/Current_Account/.htm, diakses pada pukul 21.11, Hari Selasa, 15 Maret 2016.
[30] http://www.accountingtools.com/questions-and-answers/what-is-a-post-dated-check.html, diakses pada pukul 23.22, Hari Selasa, 15 Maret 2016.
[31] http://www.hsbc.co.id/product-summary/post-dated-check/id/htm, diakses pada pukul 14.41, Hari Rabu, 16 Maret 2016.
[32] http://www.accountingexplanation.com/discounting_of_a_bill_of_exchange.htm, diakses pada pukul 11.22, Hari Selasa, 15 Maret 2016.
[33] http://www.accountingexplanation.com/discounting_of_a_bill_of_exchange.htm, diakses pada pukul 11.22, Hari Selasa, 15 Maret 2016, dan diolah
dari berbagai sumber.
[34] http://www.citeman.com/-advantages-of-bill-discounting.html,
diakses pada pukul 12.13, Hari Senin, 14 Maret 2016.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca blog saya, semoga bermanfaat