Wednesday, November 2, 2016

Kakek akan Mendapatkan 1/6 dari Harta Warisan Jika???




Kakek (جد) akan mendapatkan 1/6 dari harta warisan dengan syarat:

  1. Tidak adanya Ayah mayyit
  2. Terdapat Ahli furu dari kalangan laki-laki, seperti: Anak laki-laki, atau anak dari anak laki-laki/cucu laki-laki
Status kakek di sini adalah kedudukannya sebagai pengganti ayah, karena ayah mayyit juga sudah tidak ada.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:


وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ 


Artinya: Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. (Q.S. An Nisa: 11)

Contoh:
Si Mayyit meninggalkan seorang istri, kakek dan anak laki-laki. Maka Istri mayyit mendapatkan 1/8 dari harta warisan, Kakek mendapatkan 1/6 dari harta warisan, dan Anak laki-laki mendapatkan Ashabah.

Sebab istri dapat 1/8 dari harta warisan bisa dicek di sini: http://sunniyun.blogspot.com.eg/2016/10/istri-akan-mendapatkan-18-dari-harta.html.

Maka jika Mayyit meninggalkan harta sebanyak 1.500.000 rupiah.
Istri dapat 1/8 dari 1.500.000 = 187.500 rupiah,
Kakek dapat 1/6 dari 1.500.000 = 250.000 rupiah, dan
Anak laki adalah Ashabah = 1.500.000 - 187.500 - 250.000 = 1.062.500.    

Kakek akan Menjadi Ashabah jika???


Kakek (جد) akan menjadi Ashabah (mendapatkan sisa dari harta warisan yang sudah dibagikan kepada Ahli Furud, seperti: Suami/Istri Mayyit.) dengan syarat:

  • Tidak adanya Ayah Mayyit
  • Tidak ada ahli furu sama sekali (seperti: anak, cucu dan seterusnya)
Jadi, kakek disini statusnya sebagai pengganti ayah.

Contoh:
Jika seseorang meninggal dunia, dia hanya meninggalkan seorang istri dan kakek. maka si istri tersebut akan mendapatkan harta warisan 1/4 dan Kakek menjadi Ashabah.

Penyebab istri mendapatkan 1/4 dari harta warisan bisa dicek: http://sunniyun.blogspot.com.eg/2016/10/istri-akan-mendapatkan-14-dari-harta.html.

Si Mayyit meninggalkan harta warisan sebanyak 1.000.000 rupiah. maka:
Istri mendapatkan 1/4 dari 1.000.000 = 250.000 rupiah, dan
Kakek mendapatkan ashabah/sisa setelah uang dibagi kepada ahli furu (untuk ini ahli furu' cuma ada istri mayyit) 1.000.000 - 250.000 = 750.000 rupiah.

Monday, October 17, 2016

Permasalahan dalam Hal warisan



Bagi yang masih hidup harus memperhatikan hak-hak Mayyit sebelum hartanya dibagikan kepada para ahli waris, jadi jangan terburu-buru dalam membagikan harta warisan sedangkan hak-hak Mayyit belum ditunaikan.
Ada beberapa point yang harus dilakukan sebelum membagikan harta warisan. Yaitu:
  1. Pengurusan jenazah Mayyit, seperti memandikannya, mengkafani, menshalatkannya dan menguburkannya.
  2. Membayar Hutangnya Mayyit, sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "Jiwa seorang mu'min masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya. (H.R. Ahmad)
  3. Menunaikan wasiat si Mayyit dengan syarat tidak melebihi dari sisa harta yang ditinggalkannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabdayang artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-tamimi, telah menghabarkan kepada kami Ibrahim bin sa’ad dari ibnu syihab dari ‘Amir bin sa’ad dari ayahnya dia telah berkata : Pada waktu haji wada’ Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menjengukku karena menderita penyakit yang hampir menyebabkan kematianku. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah, penyakitku sangat parah seperti yang engkau lihat, sedangkan aku adalah seorang hartawan dan tidak ada yang mewarisiku kecuali putriku satu-satunya. Apakah saya boleh bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: Tidak boleh. Aku bertanya lagi: Dengan setengahnya? Beliau menjawab: Tidak boleh, dengan sepertiga saja. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang akan meminta-minta kepada manusia. Dan kamu tidak menafkahkan suatu nafkah pun untuk mencari keredaan Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala karena nafkahmu itu walaupun sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu. (H.R. Muslim)
  4. Pembagian Harta Warisan setelah ditunaikannya Tiga Point yang di atas sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebab-sebab mendapatkan harta warisan:
  1. Kerabat, seperti: ayah, ibu, anak, saudara, paman dan yang lainnya.
  2. Pernikahan
  3. Hubungan Wala' (orang yang pernah memerdekakan si mayyit ketika mayyit menjadi budak)
 Syarat-syarat dan rukun dalam pewarisan:
  1. Pewaris dipastikan sudah meninggal dunia, atau telah dinyatakan oleh hakim bahwa dia meninggal dunia (seperti orang hilang yang sudah lama tidak diketahui kabarnya)
  2. Ahli Waris dipastikan masih hidup ketika pewaris (mayyit) meninggal dunia
  3. Tidak melanggar larangan-larangan dalam hal warisan. Seperti: Budak, Pembunuhan (Ahli waris membunuh pewaris), Beda Agama (Muslim tidak mewariskan hartanya ke orang kafir begitu juga sebaliknya).
  Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan ahli waris (diambil dari Fiqhul mawaris, tingkat 3, fakulttas syariah islamiyah, Al-Azhar, Cairo. Cetakan 2007/2008, Hal: 67).
  1. Hukum jika semua ahli waris dari kalangan laki-laki berkumpul dalam suatu masalah. Dalam masalah ini si mayyit tentunya seorang wanita, maka yang akan mendapatkan harta warisan dari mereka hanya tiga orang, yaitu; suami, bapak dan anak laki-laki. Sedangkan yang lain tidak mendapat apa-apa karena dihalangi (dimahjubkan) oleh anak dan bapak.
  2. Hukum jika si mayyit perempuan (istri) dan ia meninggalkan ahli waris dari kalangan wanita, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya ada empat orang yaitu; ibu, anak perempuan, anak perempuan dari keturunan anak laki-laki (cucu perempuan) dan saudara kandung perempuan. Sedangkan yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa karena terhalangi oleh mereka.
  3. Hukum jika semua ahli waris dari kalangan wanita berkumpul dari satu masalah dan yang meninggal dunia (si mayyit) adalah suami, maka yang berhak mendapatkan harta warisan hanya lima orang, yaitu; Ibu, anak perempuan, anak perempuan dari keturunan anak laki-laki (cucu perempuan), istri, dan saudara kandung perempuan. Sedangkan yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa karena terhalangi oleh mereka.
  4. Hukum jika yang meninngal dunia laki-laki dan meninggalkan ahli waris dari kalangan laki-laki saja, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya dua orang, yaitu; Bapak dan anak laki-laki. Sedangkan yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa karena terhalangi oleh mereka.
  5. Hukum jika ahli waris laki-laki berkumpul dengan ahli waris perempuan, dalam masalah ini ada dua gambaran, yaitu;
  • Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan berkumpul dan yang meninggal adalah si istri, maka yang berhak mendapatkan harta warisan hanya lima orang, yaitu; Bapak, ibu, anak laki-laki, anak perempuan dan suami mayyit. Sedangkan yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa karena terhalangi oleh mereka.
  • Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan berkumpul dan yang meninggal adalah si suami, maka yang berhak mendapatkan harta warisan hanya lima orang yaitu; bapak, ibu, anak laki-laki, anak perempuan dan istri si mayyit. Sedangkan yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa karena terhalangi oleh mereka.       


Saturday, October 15, 2016

Struktur / Bagan Jatah yang mendapatkan Warisan


Silahkan diperhatikan bagian atau jatah yang didapat oleh masing-masing.

1/2,  1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6, ini semuanya ada enam bilangan pecahan (Ashabul Furud). Semuanya adalah bagian harta yang akan didapat oleh ahli waris dari harta warisan yang mana sudah ditetapkan di dalam Al-Qur'an, Sunnah ataupun ijma para ulama.
ع atau عصبة: Adalah sisa harta warisan yang mana harta warisan tersebut telah dibagikan kepada Ashabul Furud.
Kalau Ashabul Furud diketahui jumlah bagian yang akan didapat dari harta warisan. Sedangkan Ashabah dia belum diketahui, karena ia mendapatkan sisa.
Siapa saja yang mendapatkan Ashabul Furud atau siapa saja yang mendapatkan Ashabah bisa diketahui dari foto di atas.

Friday, October 14, 2016

Konsep Kepemilikan Dalam Islam



PEMBAHASAN

A. Harta

 1. Definisi Harta

Harta dalam bahasa Arab disebut dengan al-Māl, yang merupakan akar kata dari lafadaz  مال – يميل – ميلا yang berarti condong, cenderung, dan miring. Istilah harta atau al-Maal dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertiannya sangat luas dan selalu berkembang. Secara etimologi harta adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia dengan sebuah usaha baik berupa benda yang tampak  (materi) seperti emas,  perak,  binatang,  tumbuh-tumbuhan,  maupun berupa manfaat dari suatu barang seperti kendaraan,  pakaian,  dan tempat tinggal.
    Secara garis besar, unsur-unsur  harta adalah:
i.       Bersifat materi atau mempunyai wujud nyata (‘ainiyyah)
ii.      Dapat disimpan untuk dimiliki (qabiilan lit-tamlik)
iii.    Dapat dimanfaatkan (qabiilan lil-intifa’)
iv.    ‘Urf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta.[1]
Pemilik mutlak terhadap segala sesutu yang ada di muka bumi ini,termasuk harta benda adalah Allah Swt. Kepemilikan manusia hanyalah relatif,sebatas untuk melaksanakan amanah mengola dan memanfatkannya sesuai dengan ketentuannya.[2]
Sebagaimana firman Allah Swt: Dan berikanlah kepada mereka, sebagian dari harta Allah (maalillah) yang dikaruniakan-Nya kepadamu… “ (QS. 3: 33).
Dengan menyadari hal ini, seorang mukmin akan senantiasa menjaga harta titipan Allah Swt dengan sebaik-baiknya, tidak digunakan kecuali atas izin dan arahan Allah Swt sebagai pemilik. Sangat tidak pantas manakala seseorang menggunakan harta tanpa sejalan dengan keinginan pemiliknya.
Harta yang ada pada manusia, statusnya antara lain adalah sebagai titipan Allah Swt, sebagai perhiasan hidup, sebagai ujian keimanan, bekal untuk beribadah, dan kenikmatan yang harus disyukuri.
Allah Swt berfirman: Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya, dan infakkanlah di jalan Allah sebagian harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai pemegang amanahnya” (QS. 57:7).
Layaknya seseorang yang menitipkan sesuatu, pasti dia berharap barang titipannya akan dijaga dengan sebaik-baiknya, dan dia pasti percaya pada orang yang dititipi. Kepercayaan yang telah diberikan, jangan sampai dikhianati, yang membuat kemurkaan orang yang menitipkan.[3]
Adapun harta menurut beberapa pendapat ulama memiliki definisi harta yang berbeda-beda, diantaranya:
i.        Pendapat mazhab Hanafi
Menurut para ulama Hanafiyah harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Dari definisi tersebut harta memiliki dua unsur, yaitu;
a)   Dapat dimiliki dan disimpan secara nyata dalam bentuk fisik (tangible).
b)   Dapat dimanfaatkan atau diambil nilai guna barangnya.

ii.      Pendapat mazhab Maliki
Harta adalah sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ‘urf  dan melekat pada diri seseorang sehingga menghalangi orang lain untuk menguasainya.

iii.    Pendapat mazhab Syafii
Harta adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya dan mempunyai nilai ekonomi serta dapat diperjualbelikan dan ada konsekuensi bagi yang merusaknya.
                
iv.    Pendapat mazhab Hanbali
Harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi dan dilindungi oleh hukum.

v.      Pendapat Jumhur Ulama
Harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya berkewajiban untuk menanggung dan menggantinya.[4]

2. Kandungan Harta terhadap Kemanfaatan

Arti manfaat secara bahasa adalah  seluruh kebaikan dan keutamaan yang berada dalam isi harta tersebut. Dan arti keutamaan yaitu faidah-faidah yang mengambil manfaat dari titik harta tersebut tanpa adanya penghalangan pada keutamaan itu seperti rumah yang jadi tempat tinggal, alat perngangkat  beban, dan lain sebagainya. Dan juga keutamaan suatu materi dengan mengambil manfaat dari sisi harta itu, seperti susu, kain, bulu domba, buah-buah dari pepohonan dan lain sebagainya.
Dan banyak para ahli fikih menggunakan kata manaafi’ atau ”Manfaat­­-manfaat” dalam keutamaan suatu benda itu tidak hanya berbentuk materi saja. Akan tetapi mereka telah memperkenalkan bahwa keutamaan suatu harta yang sifatnya tidak berbentuk itu adalah mengambil manfaat dari sisi zatnya sesuai dengan alur penggunaannya.[5]
Maka dari itu setiap barang yang kita lihat memiliki suatu manfaat yang tak terduga karena Allah Swt telah menciptakan sesuatu yang tak sia-sia walau sekecil apapun dan manusialah yang memanfaatkan materi-materi yang Allah Swt ciptakan agar bermanfaat bagi kehidupan kita.

3. Pembagian Harta

a.       Pembagian harta berdasarkan kebolehan pemanfaatannya.
i.        Harta muttaqawwim
Adalah harta yang diperoleh melalui pekerjaan yang halal dan dibolehkan syara’ untuk diambil manfaatnya, seperti makanan halal yang dibeli secara syar’i. Misalnya adalah binatang ternak seperti kerbau. Kerbau halal dimakan oleh umat Islam, tetapi jika kerbau tersebut disembelih dengan cara yang tidak sah menurut syara’, dipukul misalnya, maka daging kerbau tidak bisa diambil manfaatnya karena cara penyembelihannya batal menurut syara’
.
ii.      Harta ghairu muttaqawwim
Adalah harta yang dilarang oleh syariat untuk diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaanya, seperti babi karena jenisnya dilarang atau sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri karena cara memperolehnya yang haram.

b.      Pembagian harta berdasarkan perpindahan lokasinya.
i.        Harta Aqqar
Adalah  harta tetap yang tidak dapat dipindahkan dan diubah dari satu tempat ke tempat  lain, seperti rumah atau tanah.
ii.      Harta Manqul
Adalah harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dan diubah dari satu tempat ke tempat  lain. Hal ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan, benda-benda yang ditimbang dan diukur.

c.       Pembagian harta berdasarkan ada tidaknya dipasar.
i.        Harta Mitsly
Adalah  harta yang ada jenisnya dan persamaannya dalam satu-kesatuan di pasaran, dalam artian dapat berdiri sebagaimana di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai, serta dapat ditakar atau ditimbang seperti gula, beras, dsb. Harta mistly terbagi jadi empat macam:
a)         Makilaat (bisa ditakar), contoh: gandum dan terigu
b)        Mauzuunaat (bisa ditimbang) contoh: kapas, besi, tembaga.
c)        ‘Adadiyat (bisa dihitung dan memiliki kemiripan fisik)
d)       Dziroiyaat (dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya), contoh:  kertas, kain.

ii.      Harta Qiimy
Adalah harta yang tidak memiliki persamaan di pasar (tidak ada jenisnya di pasaran) ataupun harta tersebut mempunyai persamaan namun ada perbedaan menurut adat antara kesatuannya pada nilai guna barang dan harganya, seperti binatang, pohon, logam mulia, dsb.

d.      Pembagian harta berdasarkan kepemilikannya.
i.        Harta khaash
Adalah harta pribadi yang tidak bercampur dengan harta yang lain. Harta ini tidak dapat digunakan tanpa seizin pemiliknya.
ii.      Harta ‘aam
Adalah harta milik umum/ bersama, sehingga semua orang boleh mengambil manfaatnya sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh umum/ pemerintah.[6]

e.       Pembagian harta berdasarkan pemanfaatannya.
i.        Harta istihlaakiy
Adalah harta yang berakhir kepemilikannya dengan sekali memakai, seperti makanan dan minuman.
ii.      Harta Isti’maaliy
Adalah harta yang masih menyisakan manfaat ketika memakainya, seperti pohon, mobil, film.

f.       Pembagian harta berdasarkan status harta tersebut.
i.        Harta mamluuk
Adalah  harta yang masuk dibawah kepemilikan seseorang secara tabiat, seperti negara, yayasan umum.
ii.      Harta mubaah ibaahah ‘aammah
Adalah harta yang bisa di persekutuhan, seperti laut, hutan.
iii.    Harta mahjuur lil mashaalih al’ aammah
Adalah harta berupa jalan umum, masjid, kuburan.

g.      Pembagian harta dilihat dari segi bisa dibaginya atau tidak pada harta tersebut.
i.        Harta qaabil lil qismah
Adalah harta yang tidak diperlukan lagi oleh pemiliknya ketika dibagikan, akan tetapi pemanfaatannya itu masih ada setelah dibagikan, seperti beras.
ii.      Harta ghairu qaabil lil qismah
Adalah harta yang masih diperlukan jika dibagi, seperti kursi, meja.

h.      Pembagian harta berdasarkan zhaahir dan baathin
i.        Harta zhaahir.
Adalah harta tidak terbentuk atas kesamaan seperti kekayaan hewan, pertanian.
ii.      Harta baathin
Adalah harta yang terbentuk atas kesamaan seperti uang, emas, perak.[7]

4. Posisi Harta dalam Islam

a.       Kedudukan yang terpuji
i.        Jihad dengan harta adalah salah satu macam jihad yang paling mulia yang mana memberikan kebaikan kepada umat Islam dari munculnya kekafiran, kefakiran, kebodohan, dan kesehatan.
ii.      Harta yang menjadi pinjaman yang baik kepada seseorang.
iii.    Harta yang dapat membangkitkan masyarakat, bahwasanya masyarakat itu tidak bangkit dan tidak mengutamakan alam sekitar  tanpa adanya sisi harta (setelah adanya iman).
iv.    Harta adalah perhiasan untuk kehidupan di dunia.
v.      Cinta harta adalah anugerah yang dianugerahkan kepada manusia, maka dari itu turun syariat-syariat samawi turun untuk mengaturnya.
vi.    Bahwasanya menginfakkan harta bertujuan untuk menyucikan diri dan membersihkannya.
Maka harta-harta yang disebutkan diatas adalah harta-harta yang halal yang bisa diinfakkan di jalan Allah Swt untuk kemenangan umat.[8]

b.      Kedudukan yang buruk
i.        Harta yang menjadi azab bagi pemiliknya, yang mana menunjukkan bahwa harta itu menjadikan dia kafir dan munafik.
ii.      Hartanya yang menjadi fitnah, karena telah menyibukkan hatinya dengan dunia dan memperdikit muamalahnya dengan Allah Swt.
iii.    Harta yang tidak dimanfaatkan pemiliknya di jalan Allah Swt.
iv.    Harta yang menyebabkan kerugian.
v.      Harta yang mendorong kepada kesewenangan, kesesatan, pemborosan. 

5. Harta yang Haram

    a. Harta yang haram terbagi menjadi dua macam:
i.        Harta yang halal akan zatnya, akan tetapi diharamkan cara mendapatkannya atau menghasilkannya. Dan dia berusaha dengan jalan yang diharamkan secara syari, dan itu seperti benda-benda yang sifatnya mubah akan tetapi dicuri, dirampas dan juga barang yang bernilai menjadi haram disebabkan akad yang rusak, batil, atau jalan yang tidak disyariatkan.
ii.      Harta yang haram akan zatnya, seperti bangkai, darah, daging babi, dan sebagainya. Maka ini bukanlah harta yang harusnya berada ditangan seorang muslim. Akan tetapi jikalau itu dimiliki oleh orang ahlu kitab yang beriman kepada kehalalannya seperti khamr dan babi dalam pandangan orang Nasrani, maka itu menjadi sandaran harta dalam ulama Hanafi, dan tidak menjadi sandaran harta menurut ulama Jumhur.[9]
    b. Sebab-sebab keharamannya:
i.        Harta yang memiliki nilai akan tetapi  haram  disebabkan adanya jual beli terlarang seperti jual beli gharar, sesuatu-sesuatu yang diharamkan, jual beli salaf, jual beli dengan riba, dan lain sebagainya.
ii.      Harta haram disebabkan adanya upah yang terlarang seperti upah pelacuran, tarian tanpa ada busana yang tidak memiliki rasa malu.
iii.    Harta haram yang memiliki nilai yang jauh dari hukum fikih atas harta yang lain seperti pencurian, rampasan, memakan harta anak yatim, dan lain sebagainya.
iv.    Harta haram yang merupakan hasil dari modal kekuasaan dan penembusannya seperti suap.

6. Aturan Harta dalam Islam

a.       Harta sebagai amanah atau titipan (as a truth) dari Allah Swt.
Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu  mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah Swt.

b.      Harta sebagai perhiasan hidup
Yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri.

c.       Harta sebagai ujian keimanan.
Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak.

d.      Harta sebagai bekal ibadah.
yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak.

e.       Kepemilikan harta harus dilakukan antara lain melalui usaha  atau mata pencaharian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat al-Quran dan hadits Nabi Saw yang mendorong umat Islam bekerja mencari nafkah secara halal.

Allah Swt berfirman
: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik."(QS. 1:267)

f.       Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan mengingat Allah Swt, melupakan salat dan zakat, dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja.

g.      Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram, mencuri, merampok, curang dalam takaran dan timbangan, melalui cara-cara yang batil dan merugikan, dan melalui suap-menyuap.[10]

h.      Menginfakkan harta secara umum kepada negara.
Yang dimaksud dengan ini adalah pemerintah menyimpan harta-harta untuk kemaslahatan umum. Dan kemaslahatan umum itu mencakup bantuan-bantuan atas perjuangan (kemiliteran), perekonomian (hukum-hukum produksi), kelembagaan, kesosialan, kebudayaan, dan lain sebagainya.
 Asas-asas infak harta secara umum:
i.        Bimbingan dalam suatu infak tanpa adanya hal yang berlebihan atau melampaui batas (israf dan tabdziir)
ii.      Pengawasan infak terhadap penyimpanan yang telah diatur al-Qur’an dan Sunnah.
iii.    Mengatur keseimbangan antara proses produksi, pertanian, perdagangan, yang mana membenarkan kemaslahatan negara, masyarakat, dan individu.
iv.    Kehati-hatian pelayanan, penyimpanan, keamanan dari harta-harta yang diinfakkan
v.      Ketidak adanya penimbunan harta-harta umum dalam suatu penyimpanan. 
 
i.        Adanya Kumpulan harta-harta yang menjadi berbagai macam sumber negara, yang berupa :
i.        Zakat dengan melihat perician, syarat-syarat, dan aturan-aturannya.
ii.      Sedekah, kafarat, dan yang lainnya yang mana akan diberikan kepada bait al-Mal.
iii.    Pendanaan Investasi khusus dengan memakai harta negara.
iv.    Pendanaan Wakaf yang yang dikhususkan untuk perencanaan negara dan yayasan-yayasan keilmuan, keagamaan, dan lain-lainnya.
v.      Pendanaan Seperlima harta dari ghanimah, yang mana dua puluh persen darinya diberikan untuk negara dan sisanya dibagikan kepada orang-orang yang ikut jihad.
vi.    Al-Fay’, yaitu harta yang diambil dari musuh tanpa adanya pembunuhan, yang menjadikannya khusus bagi negara agar menyimpannya untuk kemaslahatan umat dalam kebenaran jaminan sosial.
vii.  Persepuluh dari hasil perdagangan, yaitu  negara Islam yang telah terjadi zaman ini mengambil pajak-pajak perdagangan luar negeri yang mana kaum muslimin telah menegakkan itu, dan pembagiannya di tetapkan.
viii.    Al-Jizyah, adalah pajak yang mewajibkan atas warga negara yang bukan muslim dalam kewajiban zakat seorang muslim, dan ini merupakan dalil atas konsistensi dengan undang-undang negara dan kepemerintahan.
ix.    Al-Rikaz yaitu barang-barang tambang yang diprioritaskan (objek-objek mentah) yang tertimbundan tertanam dalam perut bumi.
      
j.        Adanya keseimbangan suatu negara.
Khalifah Umar membangun sebuah lembaga untuk mengatur sumber-sumber dan pengeluaran harta. Dan memperhitungkan seorang pekerja dengan hal-hal mulia kepada bait al-Mal serta adanya keseimbangan yang menyempurnakan antara kehendak-kehendak sumber negara kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya yang mana telah disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah serta memberikan hak-hak mereka.

k.      Hubungan harta dengan politik moneter pada suatu negara.
Yang dimaksud dengan ini dalam ekonomi Islam adalah kumpulan dari kaidah-kaidah dan langkah-langkah yang menjadikannya suatu negara untuk mengatur suatu harta dengan dasar-dasar yang bersifat Moneter dan aturannya dengan apa yang berkesinambungan antara struktur investasi, produksi, konsumsi, untuk perekonomian yang umum terhadap negara. Dan yang masuk dalam politik moneter juga berupa gerakan permasalahan uang serta hal yang mengikutinya dan pelayananya seperti pengawasan atau perkembangan secara menyeluruh, kepastian, dan kemakmuran.[11]

B. Kepemilikan 

Kepemilikan secara mutlaqah adalah milik Allah Swt semata. Apabila kepemilikan manusia adalah kepemilikan muqoyyadah atasnya ikatan-ikatan dan kewajiban-kewajiban.

1. Definisi Kepemilikan.

Kepemilikan secara bahasa pencakupan atas sesuatu, dan kemampuan untuk menjaga dan bertindak atas sesuatu. Dan ulama menggunakan kata al-Maalikiyah, al-Mamlukiyah, al-Milkiyah, dan ketiga kata diatas semuanya adalah ungkapan tentang hubungan antara manusia dan harta, kecuali al-Maalikiyah adalah ungkapan dari sisi kemanusian, al-Mamlukiyah adalah ungkapan dari sisi harta, dan al-Milkiyah ungkapan dari keduanya.
Kepemilikan secara syariat: Adalah penghubung antara manusia dan sesuatu (harta), memungkinnya untuk memanfaatkannya (menggunakannya atau mengeksploitasi) dan mengembangkannya, dan diharamkan selainnya untuk mengganggunya. Dan kata al-Milku dimutlakkan dan dimaksudkan untuk apa-apa yang dimiliki, dan juga dimaksudkan untuk kemampuan seseorang untuk menggunakan hartanya itu dan haknya atas hartanya.[12] 

2. Sebab-sebab kepemilikan.

    Sebab-sebab kepemilikan dalam Islam ada dua macam, ada sebab-sebab terlarang dan ada sebab-sebab yang diperbolehkan.
     a. Sebab-sebab terlarang adalah:
i.        Bunga (riba)
ii.              Penimbunan (Al-Ihtikar)
iii.            Tidak jelas (goror)
iv.            Suap-menyuap (riyswah)
v.              Mencuri (sariqoh)
vi.            Memakai tanpa ijin (goshob)
vii.          Curang (giys)
       b. Sebab-sebab yang dihalalkan adalah:
i.        Buah atau anak dari yang dimiliki, seperti buah dari pohon, anak dari hewan
ii.             Apa yang didapat dari perbuatan yang dihalalkan, seperti kayu bakar, tanah yang dihidupkan, ghonimah perang, hasil buruan
iii.            Harta warisan
iv.            Ad-Diyah
v.              Hasil jual beli, atau sedekah, hadiah

Dan kepemilikan disini sebagiannya dihasilkan dari pekerjaan yang halal, dan sebagiannya lagi dihasilkan dari harta yang halal, seperti anak dari gembalaan, dan sebagiannya lagi dihasilkan dari sedekah, dan sebagianya lagi dihasilkan dari hubungan kekerabatan.
Selanjutnya kepemilikan disini ada yang ijbaari (tanpa memilih) seperti warisan dan hasil dari kepemilikan, dan sebagiannya lagi ikhtiyaari (harus memilih) seperti dari pekerjaan yang halal, akad-akad kepemilikan, dan sebagian harta itu ada yang diambil dari tanpa pemiliknya seperti hasil dari buruan, dan sebagian dari harta itu ada yang diambil secara paksa seperti harta ghanimah, dan sebagian dari harta itu ada yang dimiliki secara saling meridhai seperti jual beli, dan ada juga yang tanpa meridhai seperti hadiah, pemberian.

3. Kepemilikan khusus, Kepemilikan Umum dan Kepemilikan Negara

Kepemilikan khusus adalah perkara yang sudah jelas, maka kepemilikan itu untuk individu saja, mereka mempunyai hak untuk melakukan apa saja pada hartanya. Apabila pembahasan tentang perbedaan antara kepemilikan umum dan kepemilikan negara adalah perkara yang detail, karena semua kepemilikan itu diurus oleh negara, akan tetapi yang membedakan keduanya adalah kepemilikan negara seperti kepemilikan individu, negara berhak untuk mengerjakan apa saja terhadap harta itu, apabila kepemilikan umum maka tidak satupun negara atau individu yang boleh mengutarakannya atau menggunakan seenaknya, karena itu adalah kepemilikan umum. Boleh memanfaatkan asal tidak mengutarakannya.[13]
           a. Kepemilikan Khusus
    Kepemilikan khusus adalah kepemilikan individu atau perusahaan, dan kepemilikan      khusus sudah diakui dalam Islam. Dalil-dalil kepemilikan khusus sudah banyak didalam al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw, seperti:
"كل المسلم على المسلم حرام: دامه وماله و عرضه"
Semua muslim atas muslim haram, yaitu: darahnya, hartanya, kehormatannya

Islam sangat menjaga kepemilikan khusus atau individu, seperti Islam menjaga harta itu dari pencurian, goshob, maka Islam memberikan hukuman atas setiap mereka. Kepemilikan khusus dalam Islam tidak terbatas pada kepemilikan yang dihasilkan dari gaji atau buah, tapi juga dari ‘urudhu al-Qunyah dan ‘urudhu at-Tijaroh dan semua daro yang asal-asal yang tetap (alat-alat produksi), dan juga semua harta yang Islam perbolehkan untuk memilikinya kepemilikan khusus. Berbeda dengan harta negara dan harta umum.

    b. Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum disini bukan kepemilikan negara, akan tetapi kepemilikan disini adalah kepemilikan semua manusia, mereka mengikuti hukum ibahah didalamnya. Maka tidak ada pengkhususan individu atau negara didalamnya, maka tidak boleh didalam harta tersebut untuk dijual atau diberikan, karena itu milik semua umat muslimin, baik itu yang hidup sekarang atau yang akan lahir, Maka diperbolehkan pemanfaatannya saja.
 i. Contoh-contoh kepemilikan umum, diantaranya:
a). Sungai-sungai
b). Laut-laut
c). Tanah untuk menggembala
c. Kepemilikan Negara
Tadi kita sudah melewati tentang kepemilikan umum dalam satu negara, maka sekarang kita akan berbicara tentang kepemilikan umum dalam lingkup dunia, bahkan terkadang para peneliti-peneliti memandang sebelah mata tentang permasalahan ini. Maka sungai-sungai, teluk-teluk, dan laut-laut yang melewati satu negara, maka negara ini punya hak penuh untuk mengurusnya, berbeda dengan laut-laut atau samudra yang melewati semua negara maka inilah yang disebut kepemilikan umum semua umat manusia di dunia.

C. Perbandingan Konsep Kepemilikan Menurut Kapitalis, Sosialis dan Islam

1. Konsep Kepemilikan dalam Ekonomi Kapitalis.

Dalam aturan Kapitalisme berdiri pada suatu kehormatan  atas kepemilikan khusus, maka seorang individu mempunyai kekuasaan mutlak dalam pembentukan kekayaan dan perubahan yang ada didalamnya selama tidak bertentangan terhadap aturan undang-undang yang telah diperintahkan.
Dan kepemilikan individual adalah salah satu yang paling mendorong untuk membentuk dan mengembangkan kekayaan dan menjaganya, tidak membuang  dan berlebihan didalamnya. Karena manusia telah diciptakan atas kecintaan yang besar terhadap harta, dia berusaha dan berjalan diatas bumi, mencoba dan berpikir bagaimana cara untuk mendapatkan harta. Itulah yang membuat harta semakin banyak.
a. Ekonomi kapitalis memiliki beberapa konsep, yaitu:
i.        Kepemilikan individu.
Kepemilikan individu adalah salah satu yang mendorong untuk mengembangkan      dan memperluas harta seseorang dalam konsep kapitalis.

ii.      Kebebasan berekonomi.
Ekonomi kapitalis berdiri diatas kebebasan berekonomi. Perkara ini adalah buah dari menghormati kepemilikan individu, maka wajib semua urusan kegiatan ekonomi dikembalikan bebas kepada pemiliknya.

iii.    Bebas bersaing.
Bebas bersaing adalah hal yang lumrah sebagai buah dari kebebasan berekonomi,   maka penjual mempunyai kebebasan hak untuk memilih barang jualan dan jasa yang akan mereka jual, mereka juga bebas untuk memberikan harga yang mereka inginkan, begitu juga pembeli mempunyai hak untuk bebas membeli barang dan jasa yang mereka inginkan.

iv.    Mengejar keuntungan.
Keuntungan adalah salah satu yang paling memotivasi untuk terus berekonomi, dalam sistem ekonomi kapitalis keuntungan tiada batas, seseorang lah yang menentukan keuntungan mereka sendiri. 
b. Kecacatan ekonomi kapitalis diantaranya adalah sebagai berikut:
  i. Penimbunan harta
        ii. Adanya bunga
        iii. Manfaat hanya materialisme[14]

c. Ciri-ciri ekonomi kapitalis, yaitu:
i.        Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi
ii.      Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar
iii.    Manusia dipandang sebagai mahluk homo-economicus, yang selalu mengejar    kepentingan sendiri
iv.    Paham individualisme didasarkan materialisme, warisan zaman Yunani kuno   (hedonisme)

2. Konsep Kepemilikan dalam Ekonomi Sosialis

Konsep kepemilikan dalam ekonomi sosialis berasal dari kepemilikan bersama. Negara mengatur perputaran dan memperhatikan kegiatan ekonomi dari sisi undang-undang pusat.
        a. Ekonomi sosialis memiliki beberapa konsep,  yaitu:
i.        Kepemilikan umum.
Yaitu dari keikutsertaannya setiap individu masyarakat dalam kepemilikan alat produksi dan negara berdiri sebagai alat kontrol kegiatan ekonomi. Negara berlandaskan nasionalisme dalam menghukumi kepemilikan khusus, seperti negara meniadakan harta warisan.

ii.      Tidak mengakui adanya keuntungan pribadi.
Konsep sosialis yang mengatur kegiatan ekonomi bermaksud untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Mereka tidak menganggap adanya keuntungan pribadi untuk menjaga keseimbangan konsep sistem ekonomi sosialis.

iii.    Adanya undang-undang pusat.
Dikarenakan bersandarnya suatu negara untuk menyiapkan undang-undang atau sebuah badan yang bertugas untuk membuat undang-undang  yang mencakup tujuan masyarakat yang harus dicapai, dan juga perantara untuk mewujudkan tujuan-tujuan itu.

Dengan segenap konsep ekonomi sosialis diatas ternyata juga membuat banyak orang rugi dan terzalimi. Karena kenyataan sudah membuktikan akan kejelekan ekonomi sosialis, lalu jatuhnya ekonomi sosialis di akhir-akhir delapan abad lalu, dengan apa yang dibawanya dari pertentangan-pertentangan dan juga dari menolaknya fitrah dan akal atasnya. Bahkan hanya menimbulkan kefakiran dan kelaparan diantara masyarakat.
b. Diantara cacat-cacat ekonomi sosialis adalah sebagai berikut:
i.        Individu tidak memiliki kepemilikan khusus    
ii.      Tidak adanya hak individu untuk memilih  barang jualan dan jasa-jasa
iii.    Rendahnya gaji buruh
iv.    Orang-orang yang mengusai undang-undang pusat
v.      Tidak terciptanya dua tujuan ekonomi sosialis, yaitu: Keadilan dan kecukupan[15]

c. Ciri-ciri ekonomi sosialis, yaitu:
i.         Lebih mengutamakan kebersamaan (kolektivisme)
ii.       Peran pemerintah sangat kuat
iii.     Sikap manusia ditentukan oleh pola produksi[16]

3. Konsep Kepemilikan dalam Ekonomi Islam

Allah Swt telah menciptakan manusia dan menjadikannya khalifah dimuka bumi, untuk mewujudkan sebenar-benarnya penghambaan kepada Allah Swt semata, dan memakmurkan bumi dengan keadilan dan kesejahteraan, dan sungguh Allah Swt telah memberikan semua yang membantu hamba untuk beribadah kepadaNya, maka Allah Swt memberikan nikmat akal, panca indra, dan kemampuan yang digunakan untuk mengetahui apa-apa yang ada dibumi. Allah Swt berfirman:

(و إذ قال ربك للملاءكة  إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها و يسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال اني أعلم ما لا تعلمون)

)Dan ketika Rabbmu berkata kepada malaikat,”Sesungguhnya aku akan menjadikan dibumi khalifah.” malaikat berkata, “Apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. 2:30)


Kepemilikan adalah kekhususan yang memberikan kepada pemiliknya suatu manfaat dengan adanya sesuatu dan perubahan didalamnya, dan aturan ekonomi Islam  berdiri atas asas kepemilikan ganda atau saling berpasangan, yang mana mengambil kepemilikan individu dan kepemilikan bersama secara bersamaan, dan tidaklah berdiri atas keduanya seperti apa yang ada dalam kapitalisme dan sosialisme, maka ini adalah suatu hal yang menggabungkan antara keduanya dalam suatu komposisi, dalam keaslian aturan ekonomi dengan gambaran yang saling menyempurnakan dan yang memperkuat dan dikelilingi setiap dari keduanya yang lain. Dan dalam jalan itu telah menetapkan kepemilikan itu dengan aturan-aturan dan batasa-batasan yang melarang kebahayaan dan mengimbangi antara maslahat individu dan maslahat bersama, dengan gambaran yang menjadikan kepada kepemilikan yang yang telah diwajibkan secara bersama dengan benar dan bersifat membangun.
 a. Ada beberapa jenis kepemilikan dalam Islam, yaitu:

i.        Kepemilikan individu.
Kepemilikan individual atau kepemilikan khusus adalah kepemilikan pada seseorang  atau kelompok dari perorangan atas jalan kerjasama. Dan Islam telah menetapkan kepemilikan individu, dan telah difatwakan dalamnya dan pemeliharaannya dari hal-hal yang melampaui batas halal haram (fikih).
Allah Swt berfirman: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”

Dan dengan itu bisa dikatakan bahwa setiap kepemilikan yang didapatkan pemiiliknya sesuai dengan syariat tidak boleh dirampas apabila tidak ada kemaksiatan didalamnya, seperti orang yang enggan membayar zakat, maka diperbolehkan mengambilnya dengan paksa. Atau juga disana ada kemashlahatan umum, atau hal darurat lainnya. Maka dibolehkan bagi seorang hakim muslim kepada masyarakat muslim yang menerapkan hukum-hukum islam untuk campur tangan , dan mencabut kepemilikan jika cara ini telah ditentukan untuk membenarkan keadilan dan maslahat umum, dengan syarat adanya kompensasi atau ganti rugi seorang penguasa terhadap kepemilikan yang bermanfaat dengan kompensasi dan sesuai.

Sungguh kepemiilkan individu benar-benar suatu fitrah dan dibutuhkan secara bersama, dengannya bumi  makmur dan kebutuhan terpenuhi.  Manusia berusaha untuk mencapai rizki dan saling menampakkan kehebatannya. Berdasarkan bahwa pekerjaan adalah asas wujudnya dan pertumbuhannya sama seperti apakah itu pekerjaan yang bersifat perdagangan atau produksi atau pertanian atau pelayanan  atau yang selain itu, dengan syarat harus sesuai syariat, tanpa memakan harta haram sedikitpun. (maka setiap harta dari harta-harta yang berhubungan atas nya yang mana manusia dalam apa-apa diantara mereka tidak membenarkan kepemilikannya kecuali dengan penerimaan dari pekerjaan atau usaha, maka jika itu tidak mempunyai penerimaan maka itu menjadi haram).

ii.      Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum berkaitan dengan kepemilikan umat secara umum, dan  memungkinkan pembagiannya atas dua macam:
a)      Kepemilikan bersama atau partisipasi
Kepemilkan bersama atau partisispasi adalah atas apa yang Allah Swt berikan kepada seluruh umat atau sebagiannya, tanpa memperhatikan individu secara detail, seperti sungai-sungai, tanah-tanah. Maka keaslian objek kepemilikan  adalah segala yang berguna atau buah yang bukan dibuat sendiri. Dan belum ada campur tangan didalamnya suatu pekerjaan manusia, yang memungkinkan untuk mendapatkan  manfaatnya dengan mudah, apalagi karena dzatnya yang dapat memberi manfaat untuk semua penduduk tanpa adanya pengkhususan kepada siapapun.
Dan hadist-hadist shohih yang mendukung  atas ketetapan kepemilikan bersama, dari Ibnu Abbas -yang Allah ridhai kepada keduanya- bahwa Nabi Saw berkata: “Orang-orang muslim beserikat dalam tiga hal: dalam air,rumput dan api.
b)      Kepemilikan Negara

Kepemilikan negara adalah kepemilikan yang berada dalam pemerintahan, dan sumber-sumbernya berasal dari baitul mal kaum muslimin, pemerintah berhak untuk mengatur harta sesuai dengan kemaslahatan bersama. Seperti kekayaan dari lahan tanah, minyak tanah, gas, tambang, penjagaan umum, yang mana pemerintah yang mengaturnya sesuai kemaslahatan bersama. Hukum kepemilikan negara sama halnya dengan kepemilikan individu yang mana pemerintah juga mempunyai hak untuk mengeluarkan harta nya, seperti berinfak atau menjual sesuai dengan kemaslahatan bersama.

Maka barang-barang tambang yang  terlihat jelas seperti garam, minyak bumi, korek api, dan setiap yang didapatkan dan diambil darinya tanpa ada kesulitan maka itu adalah hak untuk umat, dan itu juga masuk kepada manfaat secara umum, dan dari situ tidak boleh untuk seseorang memilikinya, atau seorang hakim membagi untuk dirinya, tetapi dia harus mempertimbangkan untuk kepentingan umat.[17]

BAB III
PENUTUP

D. Kesimpulan 

a.        Harta
Jadi harta merupakan segala sesuatu yang berbentuk (materi) ataupun tidak berbentuk (manfaat dari suatu barang) yang mana itu dibutuhkan dan diperoleh dengan usaha manusia dengan adanya nilai ekonomi pada barang tersebut.
  
b.       Kepemilikan
Secara etimologi "kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "ملك" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab al-milku berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
c.       Kepemilikan Kapitalis
Konsep ini dikenal dengan hak individual yang menguasai atau memiliki harta secara khusus, baik itu harta benda untuk konsumsi atau berupa bentuk hasil produksi. Padahal tidak ada syarat untuk menjadikan semua harta dimiliki oleh individu saja, akan tetapi negara atau salah satu cabangnya boleh memiliki sebagian harta ini. Dan konsep kepemilikan kapitalis atas dasar kebebasan berekonomi  untuk semua individu, tanpa ada campur tangan negara untuk membatasi kegiatan mereka.
d.      Kepemilikan Sosialis
Konsep kepemilikan sosisalis ini berasaskan atas dasar kepemilikan negara atas beberapa  sarana–sarana produksi seperti industri, pertanian, serta sumber kekayaan alam yang berguna untuk semua. Oleh karena itu, tidak ada kepemilikan secara individu dan kebebasan berekonomi secara mutlak individual, kecuali dengan ukuran apa yang diberikan oleh masyarakat padanya dan mengelolanya untuk mereka.

e.       Kepemilikan Islam
Adapun konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam, merupakan konsep keadilan yang seimbang atanara dua konsep sebelumnya, konsep kapitalis dan sosialis.  Atau lebih detailnya merupakan konsep yang berdiri sendiri yang punya pemikiran kemasyarakatan secara khusus, juga dikenal dengan nilai kemanusiaan, sebagaimana diketahui dengan hak–hak sosial yang memberikan keseimbangan antara keduanya. Bahkan konsep ini menjadikan individu untuk masyarakat dan masyarakat untuk para individu dengan cara saling menjamin secara umum antara mereka.

  by: Forum Kajian Pakeis, Cairo - Mesir

[1] https://hidupituimpian.wordpress.com/2012/05/06/harta-uang-dan-pembagian-jenis-jenisnya-dalam-pandangan-islam/, diakses pada pukul 16.09, hari Ahad, 1 Maret 2015.
[2] Dr. Muhammad Syafii Antonio, et.al., Ekonomi Islam untuk Sekolah Lanjutan Atas, STEI Tazkia, Bogor, Indonesia, 2010, hal. 9-10

[5] Dr. ‘Ali Muhyiy al-Quroh Daghi, Ali,al-Muqaddimah fii al-Maal wa al-Iqtishaadiyyah wa al-Milkiyyah wa al-‘Aqd, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Lebanon, cet. II, 2009. Hal.23,26-27
[7] Dr. ‘Ali Muhyiy al-Quroh Daghi, op. cit.  hal. 50-51, 53-55
[8] Ibid., hal. 59-62
[9] Ibid., hal. 43-45
[10] Dr. Muhammad Syafii Antonio, et.al., Ekonomi Islam untuk Sekolah Lanjutan Atas, STEI Tazkia, Bogor, Indonesia, 2010, hal. 9-10

[11] Dr. ‘Ali Muhyiy al-Quroh Daghi, op. cit.  hal. 78-81
[12] Dr. Rofiq Yunus Mashri, Ushul Al-Iqtishod Al-Islami, Maktabah Darul Qolam, Damaskus, cet. VI, 2012, hal. 49
[13] Ibid.,  hal. 55
[14] Dr. Asyraf  Muhammad Dawabah, al-Iqtishod al-Islami, Maktabah Dar as-Salaam, Kairo, cet. XXIV, 2010, hal. 38
[15] Ibid., hal. 51
[17] Dr. Asyraf  Muhammad Dawabah, op. cit. hal. 70